Mess PLTU III Teluk Naga Dibakar Massa

Oleh:Aris/Slamet

PLN menuding pelakunya adalah preman. Tapi, sejumlah aparat kecamatan setempat, menyatakan aksi itu dipicu oleh pemecatan anggota Satpam yang direkrut dari desa setempat, dan tindakan Kepala Satpam PLTU III yang sering mencurigai warga secara berlebihan.



TANGERANG (wartamerdeka)  -Aksi kerusuhan massa kembali terjadi. Dipicu oleh kecemburuan sosial yang mendalam, ratusan warga Desa Lontar, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang, pada Sabtu dini hari lalu (15/11), melakukan aksi massa hingga membakar mess proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) III yang berada di kampung mereka.


Aksi massa warga yang berlangsung pukul 02.00 dini hari ini, menurut sejumlah aparat desa dan kecamatan setempat sebetulnya bersifat spontan. Diduga, para pelakunya adalah warga gabungan dua kampung yaitu Kampung Lontar dan Kampung Selatip. Warga kedua kampung ini, belakangan, memang merasa kesal terhadap ulah sejumlah Satuan Pengaman (Satpam) PLTU tersebut, yang terkesan overacting dan terlalu mencurigai warga setempat.

Dari pemantauan di lapangan, diperoleh keterangan, akibat aksi massa tersebut, tujuh unit mobil yang diparkir di PLTU itu mengalami kerusakan parah, mess di blok 1 dibakar, dan beberapa lainnya hancur. Kerugian diperkirakan mencapai sektiar Rp 2,5 M.

Manajer Komunikasi PT PLN, Ario Subijoko dalam rilisnya yang dikirim ke sejumlah media menuding,pembakaran terhadap mess pekerja PLTU itu dilakukan oleh sekelompok preman yang jumlahnya ratusan.

Menurut Ario, aksi tersebut telah menimbulkan ketakutan bagi para pekerja karena sangat mengganggu kelancaran proyek pemerintah dalam hal ini poyek percepatan pembangunan PLTU 10.000 MW.

PLN telah mengevakuasi 94 orang pekerja proyek asal China dari lokasi dan saat ini ditempatkan di beberapa Hotel di Jakarta.

"PLN sangat menyayangkan kejadian ini," kata Ario.

Sedangkan dari pihak kepolisian menduga aksi pembakaran PLTU III itu dipicu 'balas dendam' operasi preman.

"Ini modusnya buntut dari operasi premanisme yang dilakukan beberapa jam sebelum kejadian aksi pembakaran semalam di mana tujuh orang yang kerap melakukan pemalakan terhadap keluar masuknya kendaraan proyek terjaring operasi preman," kata Kapolres Metro Kabupaten Tangerang, AKBP Agus Adriyanto di lokasi kejadian.

Dikatakan dia, tujuh orang itu diamankan di Mapolres Tangerang.

"Kemudian, teman-teman mereka yang tidak terjaring, yaitu Chairudin cs sebanyak 7 orang akhirnya mengamuk dan melakukan pembakaran terhadap PLTU menuntut agar 7 rekannya dibebaskan. Sekarang semuanya sudah diamankan di Mapolres Tangerang," ujarnya.

Kapolres menyayangkan aksi pembakaran aset negara tersebut. Kini situasi mulai kondusif. Puluhan polisi masih berjaga-jaga.

Menurut salah satu saksi mata yang tinggal di sekitar lokasi, kejadian berawal saat polisi menjaring sekitar 8 orang yang menjadi tukang parkir di lokasi pembangunan PLTU tersebut.

"Jadi kan di sini banyak sekali kendaraan yang datang, nah ada beberapa warga yang mengambil uang parkir untuk kendaraaan itu. Per kendaraan Rp 10 ribu," kata Supriyanta.

Menurut dia, Rabu 14 November sekitar pukul 22.00 WIB, polisi mengamankan orang-orang itu. Karena hingga pukul 23.00 WIB, warga yang ditangkap itu belum juga kembali.

"Terus warga ngecek ke kantor polisi tapi kok nggak ada. Ditanya ke PLTU, mereka juga nggak ngasih jawaban. Ya mereka marah," kata Supriyanta.

Warga pun, kata dia, langsung membakar tempat tinggal pekerja bangunan yang terbuat dari kayu

Tapi, benarkah, aksi massa itu, berkaitan dengan masalah premanisme? Kepala Trantib Kecamatan Kemiri, M. Suparman didampingi wakilnya Syafudin mengungkapkan, sebenarnya permasalahannya, dipicu oleh kecemburuan sosial antara aparat desa dengan ketua satuan pengamanan (satpam) PLTU tersebut.

‘’Setiap aparat desa keluar atau masuk proyek itu selalu dipersulit phak Satpam. Bahkan, sempat terjadi keributan, antara aparat desa bernama Jaro Jai dengan Satpam PLTU bernama Sihabudin, beberapa hari lalu,’’ujar Suparman.

Suparman tidak yakin, jika persoalannya adalah masalah parkir. ‘’Kalau soal parkir, sebenarnya sudah ada kesepakatan, antara aparatdesa dengan satuan pengaman PLTU. Itu resmi. Prinsipnya saling mangamankan. Jadi bukan itu penyebab utamanya,’’ujarnya.

Masalah lain yang memicu keributan, menurut Suparman, adalah karena adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) sejumlah satpam yang direkrut dari Desa Lontar oleh pengelola PLTU .

‘’Yang membuat warga sakit hati, ternyata, pihak pengelola proyek pembangunan PLTU itu malah menngambil lagi tenaga satpam dari desa luar,’’tambah Suparman.

Masih menurut Suparman dan Syarifudin, persoalan lain yang cukup krusial adalah warga merasa dan aparat desa merasa selalu dicurigai oleh pihak satpam proyek tersebut.

‘’Setiap ada barang hilang di proyek terseubut, yang dituduh selalu warga desa. Padahal warga merasa tidak pernah melakukan pencurian.Hal itu menyebabkan warga desa makin emosi. Dan menurut penelusuran kami, tidak pernah ada pemerasan warga desa terhadap pengelola proyek PLTU III itu,’’tambah Syarifudin sambil menambahkan bahwa situasi keamanan di proyek tersebut, sejak Sabtu siang telah kondusif.

Malah, tambah Suparman dan Syarifuddin, sejak adanya proyek pembangunan PLTU tersebut, yakni setahun lebih delapan bulan lalu, situasi keamanan di sekitar proyek sebenarnya tidak ada masalah. ‘’Yang terjadi tampaknya adalah ada ganjalan informasi yang tersumbat,’’ujar Suparman lagi.


Masalah Kultural

Sementara itu, Kriminolog dari Universitas Indonesia Erlangga Masdiana megnemukakan, aksi massa yang melakukan pembakaran mess pekerja PLTU III Teluk Naga, di Desa Mauk, Tangerang, Banten adalah sebuah simbol kekerasan yang melekat dalam masyarakat Banten.

"Mereka tidak diberikan pemahaman dan sosialisasi apalagi masyarakat Banten kulturnya berbeda dengan masyarakat lain, ada budaya jawara disana. Simbol kekerasan melekat dalam masyarakat Banten," ujarnya.

Erlangga mengatakan, permasalahan ini tidak bisa diselesaikan secara hukum saja, tapi bagaimana masyarakat diberikan pemahaman dan disamakan persepsinya, kemudian memahami realitas masyarakat mengenai pembangunan PLTU tersebut. Menurutnya, harus ada pemahaman kultur dalam pembangunan di Indonesia.

"Anarkisme harus dilihat akar permasalahannya. Dari segi hukum masyarakat akan kalah karena melanggar, ini harus diselesaikan bukan hanya permasalahan hukum, ini masalah pemahaman dan persamaan persepsi. Harus bisa memahami realitas masyarakat, kalau dari realitas hukum pasti masyarakat salah, tapi realitanya masyarakat tidak mendapat kesejahteraan," imbuhnya.

Ketika ditanya mengenai apa yang seharusnya polisi lakukan dalam menangani kasus ini, Erlangga mengatakan harus ada penyelesaian yang komperhensif, karena ini juga merupakan masalah sosial dan ekonomi.

"Polisi harus adil, sebagai "sapu" juga harus bersih. Polisi bagian dari masyarakat, menurut saya harus komprehensif, tidak bisa hanya diurus oleh polisi saja, karena ini masalah sosial ekonomi juga.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama