Sutiyoso Nilai Pemerintah Telantarkan Atambua

Oleh: Aris Kuncoro

JAKARTA (wartamerdeka) - Pemerintah saat ini dinilai calon presiden Sutiyoso menelantarkan pengungsi di perbatasan Atambua NTT. Kepada sejumlah media sepulang dari Atambua, kemarin, Sutiyoso menyatakan mendapatkan beberapa masalah besar yang bisa meledak sewaktu-waktu. ”Masalah ini bisa mengancam keutuhan NKRI,” ujar Sutiyoso.


Setidaknya ada beberapa masalah di NTT yang ditemukan Sutiyoso dalam kunjungannya. Pertama, sektor pendidikan masih memprihatinkan. Pendidikan anak di tempat pengungsian masih jauh dari layak Sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan masih terbatas.

”Masalah pendidikan di Kabupaten Belu memang cukup memprihatinkan. Terutama pendidikan anak-anak eks pengungsi. Jumlah anak-anak eks pengungsi yang mencapai sekitar 1.000 orang tidak sebanding dengan prasarana yang disiapkan,” ujar Bang Yos—panggilan akrab mantan Gubernur DKI Jakarta ini.

Kedua, status pengungsi yang sudah dianggap bukan pengungsi oleh pemerintah menyebabkan bantuan dihentikan. ”Jumlah pengungsi yang besar sekitar 16.000 ribu harus menjadi perhatian kita semua,” tambahnya.

Ketiga, masalah ketahanan pangan. ”Sumberdaya tersebut belum dikelola secara optimal untuk kesejahteraan rakyat NTT sehingga kelaparan dan kemiskinan masih dialami oleh sebagian rakyat NTT hingga saat ini,” kata Bang Yos.

Padahal NTT memiliki aneka sumber daya, antara lain: lahan kering, lebak, lahan pasang surut, pantai dan lahan tadah hujan, aneka pangan nabati dan hewani yang tersebar di laut, danau, hutan dan ekosistem lainnya. Sutiyoso menyatakan akan ikut memperjuangkan agar tingkat kerawanan pangan di NTT turun hingga 50% dan kemiskinan menjadi 22 %.

Keempat, masalah air bersih. Dari 19 kabupaten/kota di NTT ternyata dilaporkan hanya lima kabupaten yang relatif cukup kebutuhan air bersihnya. 14 kabupaten/kota, hingga sekarang belum lepas dari persoalan kesulitan air yang selalu menimpa terutama di puncak kemarau. ”Kita harus galakkan program penghijauan dan menindak pelaku penebangan liar. Jangan biarkan pohon dan rumput yang berfungsi menyerap dan menyimpan air tanah ditebang dan dibakar. Akibatnya, permukaan buminya gundul sehingga air hujan tidak menyerap ke dalam tanah, sebaliknya mengalir ke sungai dan terus ke laut,” ujar Sutiyoso.

Kekeringan dan hujan memang menakutkan. Di NTT terdapat 40 sungai dengan panjang 25-118 kilometer, seperti Sungai Benanain dan Sungai Noelmina di Pulau Timor. Sungai-sungai itu hanya mengalir pada musim hujan bahkan bisa menyebabkan banjir. Sebaliknya memasuki kemarau, air sungai mengering.

Kelima, belum optimalnya pengelolaan potensi kelautan di NTT. Propinsi NTT dijuluki dengan propinsi 1000 pulau karena banyaknya pulau-pulau besar dan kecil (yang sudah didiami maupun belum didiami), namun masyarakat belum berdaya dengan sumber daya kelautan yang dimilikinya. Padahal, lanjut Sutiyoso, seperti ikan tuna yang bisa jadi komoditas unggulan NTT. Indonesia adalah negara pemasok ikan tuna terbesar ke Jepang dan merupakan komoditas ekspor terbesar kedua setelah udang.Total ekspor ikan tuna dari Indonesia mencapai 200.000 ton/ tahun.

Dari masalah yang ditemui Sutiyoso selama mengunjungi NTT ini, ia mengajak semua pihak memikirkan serius nasib pulau yang menjadi batas wilayah negara. ”Pulau di perbatasan itu seperti rakyat tanpa bernegara. Ada rakyat, ada wilayah tapi seperti tak memliki pemerintah yang melayani rakyat,” ujar Bang Yos. Ia juga menandaskan agar perhatian pemerintah ke depan harus merata di semua daerah. ”Sentralisme pembangunan di Indonesia bagian Barat harus didistribusikan ke Timur. Agar kecemburuan antar daerah berkurang,” ucapnya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama